2025-04-21 | admin3

Makanan Jadul: Bubur Berbakteri dari Tanjung Priok Kotor

Di sudut-sudut pasar tradisional atau warung kaki lima Purwakarta, ada satu hidangan lawas yang masih bertahan meski menuai pro-kontra: Bubur Berbakteri dari  tanjung Priok Kotor. Makanan ini bukan sekadar sajian biasa, melainkan warisan kuliner yang mengundang decak kagum sekaligus kecurigaan. Disebut “berbakteri” karena proses pembuatannya melibatkan fermentasi alami, sementara “periuk kotor” merujuk pada panci atau periuk yang sengaja tidak dicuci bersih untuk mempertahankan rasa khasnya. Lantas, apa yang membuat bubur ini begitu istimewa—atau justru berisiko?

Asal-Usul dan Filosofi di Balik Bubur Unik Ini

Bubur Berbakteri diperkirakan telah ada sejak era kolonial Belanda, ketika masyarakat Purwakarta memanfaatkan bahan sederhana seperti beras, air, dan sisa sayuran untuk bertahan hidup. Periuk tanah liat yang digunakan untuk memasak sengaja tidak dicuci secara menyeluruh setelah dipakai. Sisa bubur yang menempel di dinding periuk dibiarkan berfermentasi, lalu dicampur dengan adonan baru keesokan harinya. Proses ini diyakini menciptakan rasa asam yang khas dan tekstur lengket yang unik.

Bagi generasi tua, ritual “tidak mencuci periuk” bukanlah kelalaian, melainkan simbol keberlanjutan. “Ini cara nenek moyang menghemat bahan dan menjaga cita rasa turun-temurun,” ujar Pak Darso, seorang penjual bubur berusia 68 tahun di Pasar Rebo, Purwakarta.

Proses Fermentasi: Antara Mikroba dan Cita Rasa

Kunci keunikan bubur ini terletak pada bakteri asam laktat (LAB) yang situs rajazeus berkembang biak di sisa bubur yang tertinggal di periuk. Bakteri ini mengurai pati dalam beras, menghasilkan asam organik yang memberikan sentuhan asam menyegarkan. Proses fermentasi alami ini mirip dengan pembuatan tempe atau yogurt, meski tanpa kontrol suhu atau kebersihan yang ketat.

Namun, di balik kelezatannya, ada risiko kontaminasi mikroba patogen jika periuk tidak dirawat dengan benar. Sisa makanan yang tertinggal terlalu lama bisa menjadi tempat berkembangnya bakteri berbahaya seperti E. coli atau Salmonella. “Fermentasi tradisional bisa aman jika higienis, tetapi penggunaan periuk kotor meningkatkan risiko keracunan,” jelas dr. Anisa Fitriani, ahli gizi dari Purwakarta.

Kontroversi Kesehatan vs. Daya Tarik Nostalgia

Bubur Berbakteri kerap menjadi perdebatan di kalangan pecinta kuliner dan praktisi kesehatan. Di satu sisi, hidangan ini dianggap sebagai bagian dari identitas budaya yang harus dilestarikan. Banyak warga Purwakarta yang menganggap rasa asam dan aroma khasnya tidak bisa ditemukan di hidangan modern. “Ini seperti kembali ke masa kecil. Rasanya autentik dan membangkitkan kenangan,” kata Siti, seorang ibu rumah tangga yang rutin membeli bubur ini.

Di sisi lain, praktik menggunakan periuk kotor dianggap bertentangan dengan standar keamanan pangan. Dinas Kesehatan setempat pernah mengeluarkan peringatan pada 2019 setelah ditemukannya kasus gangguan pencernaan pada beberapa konsumen. Meski demikian, penjual tradisional enggan mengubah metode pembuatan. “Jika periuk dicuci bersih, rasa khasnya akan hilang. Ini bukan sekadar makanan, tapi warisan leluhur,” protes Marno, salah satu pedagang.

Bubur Berbakteri di Era Modern: Bertahan atau Punah?

Tekanan dari standar kesehatan modern dan perubahan selera generasi muda membuat eksistensi Bubur Berbakteri semakin terancam. Sebagian pedagang mulai beradaptasi dengan menggunakan periuk bersih namun tetap mempertahankan starter fermentasi alami. Beberapa bahkan menjual bubur ini sebagai “makanan probiotik tradisional” untuk menarik minat konsumen yang peduli kesehatan.

Namun, bagi puritan kuliner, perubahan tersebut justru menghilangkan jiwa asli hidangan ini. “Bubur Berbakteri yang dibuat dengan periuk bersih seperti kopi tanpa kafein—kehilangan esensinya,” keluh Budiman, kolektor kuliner jadul Jawa Barat.

BACA JUGA ARTIKEL SELENGKAPNYA DISINI:  Biryani dengan Tulang & Lemak Berlebihan: Sajian Murah Rasa Bingung

 

Share: Facebook Twitter Linkedin