Kue Sufi: Dessert Spiritual Berbasis Madu dari Kota Suci

Di tengah modernisasi dunia kuliner, tradisi masih menyisakan warisan rasa yang bukan hanya memanjakan lidah, tapi juga menyentuh jiwa. Salah satu warisan unik yang mulai kembali diperbincangkan adalah Kue Sufi — dessert khas berbasis madu yang berasal dari kawasan sekitar Kota Suci, seperti Konya di Turki, Mashhad di Iran, dan Makkah di Arab Saudi. Lebih dari sekadar makanan penutup, kue ini memiliki makna spiritual mendalam yang berakar dari praktik tasawuf atau sufisme, aliran mistik dalam Islam.
Asal Usul Kue Sufi
Kue Sufi tidak merujuk pada satu jenis kue secara spesifik, tetapi lebih pada konsep dessert yang dibuat oleh atau untuk komunitas Sufi di kota-kota suci Islam. Di antara yang paling terkenal adalah “Shirini-e Erfani” (kue pencerahan) dari Persia, serta “Halwat al-Ruh” (manisan jiwa) dari Hijaz. Bahan dasarnya cenderung sederhana: madu murni, tepung gandum atau semolina, minyak zaitun, rempah-rempah seperti kayu manis dan cengkeh, serta kacang-kacangan. Proses pembuatannya lambat, penuh ketelitian, dan sering kali disertai dzikir atau lantunan ayat-ayat spiritual.
Kue ini biasanya raja zeus dibuat dalam momen khusus seperti maulid Nabi, hari kelahiran mursyid tarekat, atau ritual sufistik seperti dhikr malam dan pertemuan wirid. Rasanya manis namun hangat, kaya aroma, dan memberikan sensasi kenyang tanpa memberatkan perut cocok untuk dikonsumsi setelah sesi meditasi atau ibadah.
Madu: Simbol Kesucian dan Pencerahan
Pemilihan madu sebagai bahan utama bukan tanpa alasan. Dalam Al-Qur’an, madu disebut sebagai obat bagi manusia (QS. An-Nahl: 69). Bagi para Sufi, madu juga melambangkan cahaya ilahiah yang menyerap dari bunga-bunga kehidupan — penuh warna, manis, dan menyembuhkan.
Dalam banyak tradisi tarekat, madu juga digunakan dalam ritual minuman spiritual atau dibagikan sebagai bentuk barakah setelah majelis ilmu. Mengolah madu menjadi kue dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap alam dan pencipta, sekaligus jalan untuk menyatukan tubuh dan ruh lewat rasa.
Proses Pembuatan yang Meditatif
Berbeda dari kue modern yang dibuat cepat dan efisien, Kue Sufi dibuat dengan proses yang lambat dan penuh kesadaran. Tepung diaduk perlahan bersama minyak zaitun sambil dilantunkan doa, lalu madu dimasak perlahan hingga mengental dan dicampur dengan rempah-rempah pilihan seperti pala, kapulaga, dan kayu manis.
Beberapa tarekat bahkan memiliki resipi rahasia yang diturunkan dari guru ke murid. Bentuk kue bisa beragam — ada yang berbentuk bulat pipih, spiral, atau seperti bunga mawar — namun semuanya dibuat dengan niat ibadah, bukan sekadar konsumsi.
Kue ini kemudian dibagikan di akhir majelis sebagai penutup rasa — sebuah penanda manisnya ilmu dan kehadiran Tuhan dalam setiap pertemuan.
Nilai Spiritual dan Komunal
Mengonsumsi Kue Sufi bukan hanya soal rasa, tetapi bagian dari ritus kebersamaan dan penyatuan hati. Dalam tradisi Sufi, makan bersama bukan hanya untuk kenyang, tapi untuk berbagi energi dan keberkahan. Kue Sufi yang dibagikan di akhir dzikir atau pengajian menjadi simbol bahwa kebaikan harus ditularkan, dan rasa manisnya kehidupan ada ketika hati bersih.
Di beberapa kota seperti Konya, tempat makam Jalaluddin Rumi, kue ini bahkan menjadi bagian dari ziarah spiritual. Para peziarah membawa pulang Kue Sufi sebagai oleh-oleh berkah, seperti halnya air zamzam atau kurma dari Makkah.
Resurgensi dan Adaptasi Modern
Dalam beberapa tahun terakhir, Kue Sufi mulai diangkat kembali oleh para chef Muslim yang ingin menggabungkan kuliner dan spiritualitas. Di Istanbul, Dubai, dan bahkan Jakarta, mulai muncul toko kue yang menawarkan versi modern dari Kue Sufi dengan isian kacang pistachio, topping biji bunga, atau bahkan varian vegan.
Namun, esensi aslinya tetap dijaga: tidak menggunakan gula buatan, pewarna, atau pengawet, dan selalu menyertakan unsur keheningan, niat baik, serta rasa syukur dalam pembuatannya.
Penutup
Kue Sufi bukan sekadar dessert ia adalah paduan rasa dan ruh, sebuah warisan budaya Islam yang mengajarkan bahwa makanan bisa menjadi jalan menuju Tuhan. Melalui manisnya madu, hangatnya rempah, dan proses yang penuh keheningan, Kue Sufi mengingatkan kita bahwa kelezatan sejati bukan hanya dari lidah, tetapi dari hati yang lapang dan jiwa yang terhubung pada Yang Maha Manis.
BACA JUGA: Menu Makanan Pencuci Mulut Saat Berbuka Puasa Paling Lezat